Warning: session_start(): open(/home/indonesiainfocus/public_html/src/var/sessions/sess_f81e1850df6ff6ea7a368f4c1eb08696, O_RDWR) failed: No space left on device (28) in /home/indonesiainfocus/public_html/src/bootstrap.php on line 59

Warning: session_start(): Failed to read session data: files (path: /home/indonesiainfocus/public_html/src/var/sessions) in /home/indonesiainfocus/public_html/src/bootstrap.php on line 59
Urgensi Program Makan Bergizi Gratis bagi Indonesia Emas 2045 - indonesiainfocus

Urgensi Program Makan Bergizi Gratis bagi Indonesia Emas 2045

2 months ago 22
ARTICLE AD BOX
Prabowo sendiri sudah lama memikirkan gagasan makan bergizi gratis, bahkan jauh sebelum periode kampanye Pilpres 2024. Tentu sebagian besar publik masih ingat ketika Prabowo merilis tagline “makan siang gratis” dalam kampanye Pilpres beberapa waktu lalu.

Tagline “makan siang gratis” kemudian direvisi menjadi program makan bergizi gratis. Revisi perlu diadakan, dengan mempertimbangkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), bahwa 41 persen siswa di Indonesia lapar saat belajar di sekolah.

Mereka lapar kenapa? Karena orang tuanya tidak mampu untuk menyediakan sarapan pagi. Mereka masuk sekolah dalam keadaan lapar dan perut kosong.

Pemerintahan Prabowo sudah berencana mengalokasikan Rp71 triliun untuk program makan bergizi gratis (MBG) 2025.

Anggaran itu masuk dalam anggaran pendidikan pada APBN 2025 yang dianggarkan Rp722,6 triliun. Rencana awalnya program ini hanya akan diberikan kepada anak sekolah.

Namun seiring dengan persiapannya, program MBG diperluas dengan menyasar anak di rumah dan ibu rumah tangga. Program ini diharapkan dapat membantu mengatasi masalah kekurangan gizi anak dan mengatasi tengkes.

Program MBG akan berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas kecerdasan anak-anak Indonesia.

Sesuai narasi optimistis menyongsong Indonesia Emas 2045, salah satunya berkat bonus demografi dan asupan gizi berkualitas.

Terdapat tekad kuat dari seluruh komponen bangsa, untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju saat mencapai satu abad, yang populer dengan tagline “Visi Indonesia Emas 2045”.

Secara kebetulan hari-hari ini juga sedang ramai pemberitaan pengumuman penerima hadiah Nobel di bidang sains, ekonomi, sastra, dan perdamaian.

Menjadi tantangan bangsa ini, apakah Indonesia setiap tahun hanya sekadar mengagumi nama para pemenang, tanpa pernah meraih penghargaan prestisius tersebut.

Program MBG bisa dibaca sebagai katalis agar kelak ada salah satu anak bangsa yang bisa meraih Nobel, utamanya di bidang sains.



Generasi Unggul

Berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia 2015-2045, berbasis data Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2025, periode bonus demografi di Indonesia berlangsung 2012 hingga 2036.

Sementara berdasar perhitungan dari Bappenas, bonus demografi bisa lebih lama, yakni tahun 2041. Bonus demografi muncul ketika mayoritas penduduk dalam suatu masyarakat berada dalam kelompok usia produktif, yaitu rentang usia 18 hingga 64 tahun.

Dengan sekitar 17 tahun waktu tersisa kita harus menyiapkan generasi baru, terutama generasi Z dan generasi Alpha, agar menjadi generasi yang berkualitas dan kompetitif pada Tahun Emas Indonesia 2045.

Seberapa penting periode bonus demografi? Negara yang berada dalam periode bonus demografi, memiliki penduduk usia produktif berlimpah, sehingga membuka ruang meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bonus demografi adalah modal penting bagi Indonesia untuk menjadi negara maju.

Sebaliknya, jika kelompok usia produktif mengalami masalah kesehatan dan rendah kecerdasannya, hal ini dapat berujung pada bencana.

Tidak hanya berdampak pada produktivitas, tetapi juga menambah beban negara. Menghadapi fenomena ini, semua sektor dan lapisan masyarakat perlu aktif berkontribusi dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

Tidak ada waktu untuk tunda-tunda atau mengabaikan situasi yang ada, itu sebabnya program MBG menjadi strategis.

Melalui program MBG, yang merupakan investasi gizi dalam pembangunan, memainkan peran yang sangat krusial.

Betapa pentingnya investasi gizi untuk pembangunan manusia, tercermin dari penelitian yang dilakukan panel ahli yang terdiri atas para ekonom terkemuka dunia, dan dituangkan dalam The Copenhagen Consensus 2012.

Panel ahli tersebut mengidentifikasi bahwa gizi dapat membantu memutus lingkaran kemiskinan dan meningkatkan PDB negara 2 hingga 3 persen per tahun.

Dengan menginvestasi 1 dolar AS pada gizi dapat memberikan hasil 30 dolar AS, dalam bentuk peningkatan kesehatan, pendidikan, dan produktivitas ekonomi.

Program MBG akan mencetak individu-individu yang sehat dengan nutrisi yang mencukupi. Keluarga sehat dengan nutrisi yang mencukupi merupakan pra-kondisi untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan lainnya, karena tidak mungkin kita dapat merealisasikan sumber daya manusia yang kompetitif tanpa dasar-dasar tersebut.

Tantangan ke depan dalam kerangka pembangunan gizi masyarakat, khususnya dalam upaya memanfaatkan periode bonus demografi secara optimal, masih butuh ikhtiar lebih keras.

Ini merupakan tugas bersama, baik sektor pemerintah, penyuluh gizi dan kesehatan, tenaga pendidikan, sektor swasta, maupun masyarakat sendiri, untuk bekerja keras, memastikan agar program MBG bisa membentuk generasi baru unggul dan cerdas.

Dengan asupan bergizi, kerja keras dari para talenta muda di bidang sains (kedokteran, fisika, kimia), humaniora (sastra, perdamaian), dan ekonomi, rasanya bukan impian berlebihan, saat dekat-dekat tahun emas Indonesia (2045), bahkan mungkin lebih cepat, salah satu dari Generasi Z atau Alpha Indonesia akan terbang ke Stockholm (Swedia), untuk menerima hadiah paling bergengsi di level global.

Ada kesan, dan berdasarkan statistik, hadiah Nobel (utamanya bidang sains) lebih sering dimenangkan oleh peneliti atau akademisi yang berasal dari negara maju, seperti AS, negara kawasan Eropa Barat, termasuk Jepang.

Ini saatnya bagi Indonesia untuk mengambil bagian. Mengingat potensi periset muda Indonesia juga semakin terbilang besar, terlebih disertai dukungan program makan bergizi gratis.

*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.
Read Entire Article