ARTICLE AD BOX
Lantunan mantra yang bersumber dari Catur Weda, Upanisad, Srivastava, hingga Ksamamahadevastuti tersebut sayup-sayup terdengar dari Taman Kota Lumintang sejak Jumat pagi. Kamis (20/2/2025), mantra-mantra suci yang dilantunkan para Brahmacari ini bahkan masih terdengar sampai pukul 21.00 WITA.
Ketua Pengurus Harian PHDI Kota Denpasar I Made Arka menuturkan bahwa peserta lomba pada gelaran tahun ke tiga ini sangat membludak, khususnya di tingkat SD. Sampai-sampai lomba harus berlangsung hingga larut malam lantaran antusiasme peserta yang begitu besar.
“Peserta di tahun ketiga ini memang membludak. Tahun pertama, kedua itu sekitar 30-an kelompok masing-masing SD dan SMP. Tahun ini, SD yang ikut 42 dan SMP ada 28 kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima orang, campur laki-laki dan perempuan. Boleh tiga laki-laki atau tiga perempuan,” ujar Arka kepada NusaBali.com di sela acara, Jumat pagi.
Jumlah peserta yang akhirnya mengikuti lomba ini berkurang dari tahap pendaftaran. Kata Arka, jika dimasukkan jumlah peserta yang mendaftar maka lomba tingkat SD seharusnya diikuti 55 kelompok dan SMP sebanyak 35 kelompok. Namun, karena perjalanan waktu dan dinamika persiapan, hanya kelompok yang serius yang hadir di hari H perlombaan.
Arka menjelaskan, lomba Puja Tri Sandhya dan Kramaning Sembah ini merupakan upaya sosialisasi yang dikemas dalam bentuk kompetisi. PHDI Kota Denpasar berusaha menampilkan tata cara pelaksanaan Tri Sandhya dan Kramaning Sembah yang benar dan tepat sesuai sastra agama Hindu.
“Selama ini kami melihat anak-anak melantunkan puja Tri Sandhya dan Kramaning Sembah dengan sruti pendek. Padahal, lantunan sruti dalam mantra itu ada maknanya. Di sana, kita belajar yoga juga,” tutur Arka.
Lantunan sruti panjang sederhananya adalah pelafalan mantra Tri Sandhya seperti yang yang dilantunkan Ida Pedanda Gde Made Putra Tembau (Alm). Pelafalan mantra seperti sulinggih dari Geria Kulon, Desa Aan, Banjarangkan, Klungkung tersebut melibatkan teknik pernapasan dan pengendalian diri.
Arka membeberkan, pelafalan mantra dengan sruti panjang adalah suatu bentuk yoga yang tidak ada dalam pelafalan mantra yang dipercepat. “Setiap pengaturan napas tersebut sebenarnya kita belajar yoga dan melatih kesabaran (pengendalian diri) yang harus diajarkan ke generasi belia,” ungkapnya.
Selain lantunan mantra, lomba ini turut menilai aturan sikap ketika melantunkan mantra baik Tri Sandhya maupun Kramaning Sembah. Mulai dari sikap duduk, mudra, sampai posisi cakupan tangan ketika mendemonstrasikan Kramaning Sembah.
Lewat pembinaan dan sosialisasi melalui kompetisi ini, Arka berharap dapat memberikan pemahaman tata cara pelaksanaan puja Tri Sandhya dan Kramaning Sembah kepada anak-anak muda Hindu khususnya usia SD dan SMP di Kota Denpasar. Di saat bersamaan, diyakini akan mempertebal sradha di usia kritis seperti Brahmacari ini.
Selama tiga tahun penyelenggaraan lomba ini, Arka menilai ada peningkatan kualitas yang signifikan. Namun, yang masih cukup sukar untuk disesuaikan adalah pelafalan Bahasa Sanskerta. Peserta masih dipengaruhi pelafalan Bahasa Bali pada akhiran bunyi vokal ‘a,’ padahal seharusnya diucapkan ‘a’ seperti Bahasa Indonesia.
Sementara itu, PHDI Kota Denpasar mencari tujuh tim terbaik di masing-masing tingkatan untuk memperoleh predikat Juara I, II, III, dan Juara Harapan IV sampai VI, serta satu Juara Favorit. Juara I di masing-masing tingkatan berhak membawa pulang Piala Bergilir Walikota Denpasar.
“Kami juga sudah bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) Kota Denpasar bahwa khusus yang mendapat juara, juara harapan, juara favorit di tingkatan SD akan ditampung SMP negeri di Denpasar lewat jalur prestasi,” tegas Arka.
Sedangkan, untuk peluang ‘free pass’ ke SMA negeri bagi para juara di tingkat SMP masih diupayakan dikoordinasikan dengan Disdikpora Provinsi Bali. Sebab, penerimaan peserta didik baru di SMA bukan ranah kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Di sisi lain, Arka berharap lomba Melantunkan Puja Tri Sandhya dan Kramaning Sembah di Kota Denpasar ini dapat kabupaten lain di Bali, khususnya lembaga PHDI. Dengan begitu, sehingga tata cara pelaksanaan Tri Sandhya dan Kramaning Sembah yang tepat semakin membumi di generasi belia Hindu Bali. *rat
Ketua Pengurus Harian PHDI Kota Denpasar I Made Arka menuturkan bahwa peserta lomba pada gelaran tahun ke tiga ini sangat membludak, khususnya di tingkat SD. Sampai-sampai lomba harus berlangsung hingga larut malam lantaran antusiasme peserta yang begitu besar.
“Peserta di tahun ketiga ini memang membludak. Tahun pertama, kedua itu sekitar 30-an kelompok masing-masing SD dan SMP. Tahun ini, SD yang ikut 42 dan SMP ada 28 kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima orang, campur laki-laki dan perempuan. Boleh tiga laki-laki atau tiga perempuan,” ujar Arka kepada NusaBali.com di sela acara, Jumat pagi.
Jumlah peserta yang akhirnya mengikuti lomba ini berkurang dari tahap pendaftaran. Kata Arka, jika dimasukkan jumlah peserta yang mendaftar maka lomba tingkat SD seharusnya diikuti 55 kelompok dan SMP sebanyak 35 kelompok. Namun, karena perjalanan waktu dan dinamika persiapan, hanya kelompok yang serius yang hadir di hari H perlombaan.
Arka menjelaskan, lomba Puja Tri Sandhya dan Kramaning Sembah ini merupakan upaya sosialisasi yang dikemas dalam bentuk kompetisi. PHDI Kota Denpasar berusaha menampilkan tata cara pelaksanaan Tri Sandhya dan Kramaning Sembah yang benar dan tepat sesuai sastra agama Hindu.
“Selama ini kami melihat anak-anak melantunkan puja Tri Sandhya dan Kramaning Sembah dengan sruti pendek. Padahal, lantunan sruti dalam mantra itu ada maknanya. Di sana, kita belajar yoga juga,” tutur Arka.
Lantunan sruti panjang sederhananya adalah pelafalan mantra Tri Sandhya seperti yang yang dilantunkan Ida Pedanda Gde Made Putra Tembau (Alm). Pelafalan mantra seperti sulinggih dari Geria Kulon, Desa Aan, Banjarangkan, Klungkung tersebut melibatkan teknik pernapasan dan pengendalian diri.
Arka membeberkan, pelafalan mantra dengan sruti panjang adalah suatu bentuk yoga yang tidak ada dalam pelafalan mantra yang dipercepat. “Setiap pengaturan napas tersebut sebenarnya kita belajar yoga dan melatih kesabaran (pengendalian diri) yang harus diajarkan ke generasi belia,” ungkapnya.
Selain lantunan mantra, lomba ini turut menilai aturan sikap ketika melantunkan mantra baik Tri Sandhya maupun Kramaning Sembah. Mulai dari sikap duduk, mudra, sampai posisi cakupan tangan ketika mendemonstrasikan Kramaning Sembah.
Lewat pembinaan dan sosialisasi melalui kompetisi ini, Arka berharap dapat memberikan pemahaman tata cara pelaksanaan puja Tri Sandhya dan Kramaning Sembah kepada anak-anak muda Hindu khususnya usia SD dan SMP di Kota Denpasar. Di saat bersamaan, diyakini akan mempertebal sradha di usia kritis seperti Brahmacari ini.
Selama tiga tahun penyelenggaraan lomba ini, Arka menilai ada peningkatan kualitas yang signifikan. Namun, yang masih cukup sukar untuk disesuaikan adalah pelafalan Bahasa Sanskerta. Peserta masih dipengaruhi pelafalan Bahasa Bali pada akhiran bunyi vokal ‘a,’ padahal seharusnya diucapkan ‘a’ seperti Bahasa Indonesia.
Sementara itu, PHDI Kota Denpasar mencari tujuh tim terbaik di masing-masing tingkatan untuk memperoleh predikat Juara I, II, III, dan Juara Harapan IV sampai VI, serta satu Juara Favorit. Juara I di masing-masing tingkatan berhak membawa pulang Piala Bergilir Walikota Denpasar.
“Kami juga sudah bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) Kota Denpasar bahwa khusus yang mendapat juara, juara harapan, juara favorit di tingkatan SD akan ditampung SMP negeri di Denpasar lewat jalur prestasi,” tegas Arka.
Sedangkan, untuk peluang ‘free pass’ ke SMA negeri bagi para juara di tingkat SMP masih diupayakan dikoordinasikan dengan Disdikpora Provinsi Bali. Sebab, penerimaan peserta didik baru di SMA bukan ranah kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Di sisi lain, Arka berharap lomba Melantunkan Puja Tri Sandhya dan Kramaning Sembah di Kota Denpasar ini dapat kabupaten lain di Bali, khususnya lembaga PHDI. Dengan begitu, sehingga tata cara pelaksanaan Tri Sandhya dan Kramaning Sembah yang tepat semakin membumi di generasi belia Hindu Bali. *rat