ARTICLE AD BOX
Arsitek ogoh-ogoh, I Made Putra Artawan (Detra), mengatakan bahwa proses pengerjaan telah mencapai 15-20 persen. “Kami memulai dari tahap nuasen (ritual pembukaan), pengelasan rangka, hingga tahap awal pembentukan atau ngulat. Ogoh-ogoh ini dirancang setinggi 3 meter dan dikerjakan di dalam Banjar,” ujar Detra saat diwawancarai pada Jumat (13/12/2024) malam.
Efisiensi Biaya dan Kreativitas dalam Material
Detra menjelaskan bahwa pembuatan ogoh-ogoh ini dianggarkan dengan total biaya Rp 30 juta, meskipun tim berusaha menekan pengeluaran seminim mungkin. Hingga kini, mereka telah menghabiskan Rp 5 juta, sebagian besar untuk membeli bahan tambahan seperti besi baru untuk memodifikasi kerangka dari tahun sebelumnya.
Untuk bagian rangka dan tubuh ogoh-ogoh, mereka menggunakan kombinasi bahan bambu, rotan, dan potongan bambu kecil, yang dipilih karena hemat biaya serta memungkinkan kolaborasi antar anggota ST.
“Material ini tidak hanya murah, tetapi juga memberikan ruang untuk gotong royong di antara anggota ST. Kami ingin memberikan contoh kepada ST lainnya bahwa kreativitas tidak harus mahal, tetapi tetap bisa menghasilkan karya maksimal,” tambah alumni ISI Denpasar ini.
Tantangan Tarung Bebas 2025
Detra mengakui bahwa sistem tarung bebas yang diperkenalkan pada lomba ogoh-ogoh tahun 2025 membawa tantangan tersendiri. Menurutnya, persaingan semakin ketat dan membutuhkan persiapan yang matang.
“Tarung bebas ini benar-benar ajang yang serius. Kami harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan karya terbaik. Namun, kami berharap kompetisi ini menjadi wadah yang positif untuk kreativitas, bukan menjadi ajang sindir-menyindir atau konflik antar ST,” tegasnya.
Harapan untuk 2025
Detra dan ST Eka Cita berharap agar Tahun Baru Caka 1947 menjadi awal yang baik bagi para pemuda di Bali, khususnya dalam berkesenian. “Semoga kreativitas ogoh-ogoh dapat terus menjadi simbol semangat berkarya dan menjalin persatuan. Kami ingin perayaan ini bebas dari gesekan dan menjadi momen untuk menunjukkan yang terbaik, baik dalam seni maupun kebersamaan,” pungkasnya.
Dengan semangat kebersamaan dan efisiensi, ST Eka Cita menunjukkan bahwa inovasi dan tradisi dapat berjalan beriringan dalam melestarikan seni budaya Bali. *m03