Mengenang Palebon Dane Jero Gede Batur Kawanan

12 hours ago 2
ARTICLE AD BOX
BANGLI, NusaBali 
Palebon Palinggih Dane Jero Gede Batur Kawanan (Alitan) digelar pada Sukra Umanis Kelawu, Jumat (24/1), di Tunon (pembakaran) Desa Adat Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli, ini berlangsung sukses. Prosesi upacara ini tentu masih terngiang kuat di benak masyarakat Bali. Tak mustahil, Palebon dengan sarana Bade Putih Tumpang Sia (sembilan) dan Patulangan Kaang (raja ikan), ini menjadi bagian penting dari memori kolektif kebudayaan Bali. 
 
Saat itu, Bade pengangkut layon (jenasah) Palinggih Dane Jero Gede bergerak menembus hujan dan awan pekat Kintamani. Tatkala tiba di Tunon, tangis haru massal ratusan krama Batur pecah. ‘’Waktu itu Cok De turun dari Bade, kemudian disunggi oleh krama. Di sana juga terjadi linang air mata. Saya salah satunya menangis,’’ ujar Jero Penyarikan Duhuran Batur, I Ketut Eriadi Ariana, saat ditemui pekan lalu di Balai Kasinoman, Pura Ulun Danu Batur, Desa Batur, Kintamani, Bangli. Cok De dimaksud, yakni salah seorang tokoh Puri Agung Ubud yang ‘arsitek’ Bade Ageng, Prof Dr Tjokorda Gde Raka Sukawati, S.E., M.M..

‘Arsitek’ Bade Ageng Prof Dr Tjokorda Gde Raka Sukawati alias Cok De saat mengomando pengarakan Bade Tumpang Sia. –IST
 
Menurutnya, tangis haru itu pecah sebagai puncak kebahagiaan krama yang merasakan kesuksesan karya. Karena sebelumnya prajuru desa adat bersama krama di Batur tidak terbayang dengan apa bentuk dan model prosesi palebon yang akan dilaksanakan. Beberapa kali rapat awal, prajuru dan krama masih diselimuti gelap atau kalut tentang apa yang akan dibuat. Sang lebar (almarhum) juga tidak meninggalkan wasiat yang lengkap tentang tata aturan palebonan ini. 

Namun uniknya saat hari ‘H’ di tengah cuaca hujan berangin, Bade sebesar dan setinggi itu bisa bergerak dan tiba dengan selamat di tunon. ‘’Kami tentu tak bisa berkata-kata apa. Karena bagi generasi kami (palebon dengan Bade Tumpang Sia) adalah hal baru di Batur,’’ tambahnya. 

Seirama dengan penuturan Jero Penyarikan Duhuran, sejumlah pandangan muncul bahwa prosesi palebon itu bukan hanya megah dari sisi kemeriahan, melainkan juga kuat dengan aura spiritual. Dua hal itu terjadi secara alami sebagai petanda bahwa sang lebar (almarhum) secara sekala merupakan tokoh diistimewakan oleh krama Desa Adat Batur dan desa – desa papasihan (penyangga). Sedangkan secara niskala, almarhum adalah figur suci yang sangat dihormati karena ‘lahir kedua kali’ sebagai Palinggih Dane Jero Gede atas titah Ida Bhatara-Bhatari di Pura Ulun Danu Batur. 

Pascapalebon itu di pelbagai platform media sosial muncul pertanyaan setingkat, antara lain, seperti apa ketokohan almarhum hingga kemegahan palebonnya mirip palebon keluarga kerajaan. Jero Penyarikan Duhuran memaparkan prosesi palebon ini bukan semata karena kehendak krama dan mampu secara ekonomi, melainkan ada landasan sastranya, yakni Raja Purana berupa lontar Prattekaning Usana Siwa Sesana. Raja Purana yang disucikan krama Batur dan masyarakat subak se-Bali ini berupa 13 lontar yang memuat tiga kelompok narasi, yakni pangeling-eling, usana, tentang etika ritual. Lontar ini pula mengatur tentang ngadegang (memilih) Jero Mangku dan tatanan ritual di pura, keberadaan Jero Gede, Jero Panyarikan, Jero Baliyan, Jero Mangku, dan seterusnya. Isi lontar ini sekaligus sebagai teks gama (pegangan) sasana pamangku di Desa Adat Batur. ‘’Dan, lontar ini juga menjelaskan bahwa Jero Gede itu adalah maparagayan danghyang (sosok yang amat disucikan),’’ jelasnya. 

Tjokorda Oka Arta Ardhana Sukawati di Patulangan Kaang menuju Tunon Palebon –IST 
 
Masih mengacu pada Raja Purana, jika Palinggih Dane Jero Gede Kawanan lebar (meninggal), maka palebonnya memakai petulangan Kaang, Bade Tumpang Sia atau Tumpang Salu, Mabenduse, dan mamanah toya di Pura Jati, Batur. Hak guna istimewa atas sarana palebon ini karena almarhum sebagai seorang Danghyangnya Bali Mula. Pengistimewaan hak ini tentu berbeda dengan narasi masyarakat di Bali dataran, antara lain, upacara dwijati hingga jadi sulinggih, sri empu, empu, pandita, dan sebagainya. 

Menurutnya, di Bali dataran tidak pernah mengenal yang namanya ‘diksa’ Bali Mula, sebagaimana berlaku di Batur. Misalnya, bagaimana seorang pamangku dipilih dari kecil, lanjut ‘didiksa’ dengan tatanan menurut jabatan yang diterima dari Ida Bhatara. ‘’Di kawasan Batur ada tradisi lisan sesuai pemahaman orang – orang zaman dulu, bahwa Dane Jero Gede adalah Bhatara Nyakala, sebagaimana Dewa Raja zaman dulu,’’ bebernya. 

Jero Penyarikan memaklumi tentang kurangnya panduan atas palebon yang langka ini. Palebon serupa pernah ada di Batur tahun 1958 untuk layon Jero Gede Kawanan sebelumnya. Almarhum yang dipalebon tahun ini pernah menjadi pangubas atau memandu pengarakan Bade palebon Jero Gede itu. Lanjut palebon serupa tahun 1967, almarhum yang Mamanjang (menaburkan beras kuning). Tahun itu, almarhum sudah madeg (menjadi) Jero Gede sembilan tahun. Fakta ini menandakan almarhum sudah menjadi pelaku utama dalam proses palebon raka atau kakaknya. 
 
Jero Penyarikan Duhuran Batur –WILASA 

Bagaimana kemudian palebon Dane Jero Gede Batur Kawanan ini dapat sokongan penting dari Puri Agung Ubud, Gianyar. Menurut Jero Penyarikan, hubungan Palinggih Dane semasa nyeneng (hidup) bersama krama Batur dengan pihak Puri Ubud, bukan relasi yang terbangun instan. Secara kekinian, para panglingsir Puri Ubud punya kesamaan gerak dalam hal membangun parahyangan. Salah satunya, sekitar tahun 1991/1992, Jero Gede Batur makalihan (Jero Gede Alitan dan Duhuran, 

berdua), bersama Panglingsir Puri Agung Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati, ayah dari Tjokorda Oka Arta Ardhana Sukawati atau dikenal Cok Ace, jadi motor penggerak pembangunan Pura Mandara Giri Semeru di Lumajang, Jawa Timur. Sebelum pembangunan itu disepakati, beberapa kali panitia pembangunan ini rapat di Pura Ulun Danu Batur. Saat upacara mlaspas pura itu, Palinggih Dane Jero Gede makalihan mengerahkan pangayah dari Batur hingga beberapa minggu jenak di Lumajang. Hingga kini, jika di Pura Semeru Agung ada karya, panitia karya selalu nunas (mohon) Ida Bhatara Tirta di Pura Ulun Danu Batur. 

‘’Uniknya, salah satu truk Fuso dari Puri Ubud yang dipakai tragtag (undak) untuk Bade palebon kemarin itu, adalah truk yang dipakai saat Palinggih Dane Jero Gede ngayah di Semeru, Lumajang, itu,’’ jelasnya. Jero Penyarikan mengakui truk ini akan jadi artefak bernilai sejarah antara kelancaran palebon dan karya di Semeru yang melibatkan Palinggih Dane Jero Gede.
 
Tak cukup itu. Pura Ulun Danu Batur menjadi tempat ‘kelahiran kedua’ Jero Gede hingga bergelar Palinggih Dane Jero Gede Batur Kawanan atau Jero Gede Batur Alitan. Seiring itu, berdasarkan tradisi ritual sejak lampau, setiap puri di Bali punya amongan (tanggung jawab) di pura ini. Misalnya, Puri Agung Ubud ngamong palinggih Ida Ratu Dalem Watu Renggong dengan walinya pada Purnama Kapitu. Puri Mengwi, Badung, ngamong di Meru Tumpang Pitu stana dari Ida Ratu Ngurah Manik Mas Agung yang upacaranya juga setiap Purnama Kapitu. Puri Klungkung ngamong Meru Tumpang Solas stana Ida Ratu Makalihan. Puri Bangli dan Buleleng ngamong Meru Tumpang Sembilan stana Ida Ratu Gede Agung. Termasuk Puri Pemecutan, Puri Ageng Blahbatuh, Gianyar, dan puri-puri lain juga ada amongannya. ‘’Spiritualitas ini juga yang menghubungkan Batur dengan puri – puri di Bali, termasuk Puri Agung Ubud,’’ ujarnya. 

Lanjut Jero Panyarikan, saat palebon Ida Batara Hyang Kawanan Batur tahun 1967 sarana Lembu Putih-nya juga dibuat di Puri Agung Ubud. Saat Palinggih Dane Jero Gede ini masih nyeneng (hidup), mewasiatkan agar Bade palebonnya dibuatkan dari Ubud. Bahkan, tahun 1980 juga diwasiatkan agar kayu untuk Bade itu dari jenis kayu sakti yang tumbuh di sebuah tegalan milik salah seorang pamangku di Batur.

‘Arsitek Bade Ageng yang tokoh Puri Agung Ubud Tjokorda Gde Raka Sukawati alias Cok De mengakui, keterikatan antara puri dengan Palinggih Dane Jero Gede di Batur dan krama setempat, bukanlah hal baru. Karena sejak lama terjadi keterhubungan semangat yakni sama-sama memerkuat ketulusan bhakti kepada Ida Bhatara-bhatari hingga tercipta kesadaran harmoni baik antarkrama, krama dengan Ida Sasuhunan dan krama dengan lingkungannya. Cok De menambahkan, dengan merasakan betapa kuat rasa bhakti dan besarnya pengabdian Palinggih Dane, maka nilai dari apa yang dipersembahkannya untuk kelancaran palebon tersebut tentu belum seberapa. ‘’Semangat bhakti ini menjadikan kami di Ubud tidak bisa melupakan jasa-jasa tulus dan suci dari Palinggih Dane. Ini tentu akan jadi kenangan selama buat krama di Batur khususnya dan kita di Bali pada umumnya,’’ ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Udayana, Denpasar, ini. Cok De selalu mendoakan agar arwah Palinggih Dane amor ing acintya.7 i nyoman wilasa
Read Entire Article